MENELADANI KEPEMIMPINAN KIAI
Oleh: Rochmad, M.A[1]
Pesantren adalah lembaga dawuh, karena seluruh kegiatan berawal dari dawuh atau kalam kiai. Kalam kiai bagai udara yang berhembus ke seluruh penjuru pesantren, terkadang berbisik semilir dan terkadang menghempas semuanya untuk berdinamika. Kiai merupakan mihwar atau poros seluruh aktivitas dalam pesantren dan masyarakat.
Setiap kegiatan santri di pesantren harus dilaporkan kepada kiai, apapun bentuknya. Masyarakat pun seringkali mengkonsultasikan segala permasalahan atau sekedar meminta doa dan restu kiai agar mendapatkan berkah hidup pada setiap hajat mereka. Karena itu kiai dijuluki sebagai paku bumi.
Begitulah bahwa kiai adalah central figure bagi santri, para anshornya, dan juga bagi masyarakat secara luas. Bagi penulis sendiri tidak mudah menarasikan secara tepat siapa kiai itu. Karena kiai adalah sosok yang paling “keramat” dalam masyarakat. Sekolah yang paling elit dan kurikulum yang paling modern justru diragukan dapat melahirkan seorang kiai. Kiai lahir bersamaan dengan dinamika permasalahan di masyarakat dalam rahim spiritual tingkat tinggi dan budaya setempat. Maka kiai dianggap mampu menyelesaikan semua permasalahan mulai dari yang paling klenik hingga yang paling logik.
Tulisan ini tidak hendak berbicara tentang kiai secara utuh, karena nilai-nilai ke-kiai-an bagaikan samudra yang tidak akan habis untuk dibahas. Tulisan ini merupakan satu atau dua buah pengalaman penulis selama menjadi santri di pondok pesantren Al-Iman selama kurang lebih 11 tahun. Ada beberapa hal unik dan penting yang kiranya perlu untuk direview kembali agar bisa diteladani, terutama yang berkaitan dengan model dan filosofi kiai dalam kepemimpinan.
KIAI Bukan KYAI
Mengutip perkataan Kiai Sahal bahwa jika kita menyebut KYAI bisa ada dua kemungkinan: “sikil papat utowo sikil loro” (berkaki empat atau berkaki dua), demikian kata Mbah Sahal. Kyai dalam bahasa Arab seperti “lafdzun musytarak” satu kata tetapi memiliki beberapa makna.
Yang dimaksud Kiai Sahal berkaki empat adalah penyebutan KYAI untuk sapi dan kerbau di beberapa tradisi Jawa seperti Yogya dan Solo dan juga untuk benda-benda keramat seperti keris. Adapun yang berkaki dua adalah untuk merujuk pada orang alim. Maka Kiai Sahal mengubahnya menjadi KIAI, supaya tidak lagi bermakna banyak dan bisa ditafsiri yang tidak sesuai, maka harus ada “isinya”.
KIAI adalah singkatan dari Kamalul Ilmi wal Adab wal Imamah, yaitu orang yang memiliki kesempurnaan ilmu, perilaku serta kepemimpinan. Bukan kiai jika hanya bermodal ilmu saja tanpa akhlak. Dan juga bukan kiai jika tidak memegang kepemimpinan dalam masyarakat. Kiai itu pemimpin atau dalam bahasa Kiai Hasan Sahal, kiai itu mundzirul qaum seperti yang diistilahkan dalam Al-Qur’an.
Memiliki ilmu saja belum cukup untuk menjadi kiai, harus dilengkapi dengan sikap mengayomi serta suguh gupuh aruh dalam melayani masyarakat. Suguh artinya siap melayani dengan baik dan memberikan apa saja yang diinginkan masyarakat, gupuh artinya tanggap, teliti, cermat serta cepat dalam melayani, sedangkan aruh adalah mengarahkan dan menunjukkan kepada arah yang tepat dan solusi yang pas dalam setiap permasalahan.
Rasulullah SAW menjelang wafatnya dihantui rasa penuh kecemasan, bukan cemas akan harta, tahta ataupun hal duniawi lainnya, akan tetapi cemas dengan keselamatan umatnya. Rasulullah SAW sebagai simbol manusia yang telah purna imannya begitu sangat menyayangi umatnya. Bisa disimpulkan bahwa religiusitas yang tertinggi adalah melekatnya hati dan sikap untuk mencintai umat. Begitulah kiranya apa yang dirasakan para ulama, kiai, ustadz maupun guru. Memang merekalah penerus para Nabi. Maka wirid-wirid mereka adalah wirid sosial, dan amalan mereka adalah amalan pengabdian. Ketinggian spiritual kiai sangat vital untuk menyelesaikan problematika umat, karena tidak ada masalah yang tidak selesai jika dikembalikan kepada Sang Pencipta.
Silo Mustiko
Silo yang dalam bahasa indonesia biasa disebut dengan duduk bersila adalah posisi duduk di lantai dengan memasukkan kaki ke dalam secara terlipat. Lalu apa hubungannya dengan kiai?
Suatu saat, penulis pernah ditanya oleh kiai Zawawi, pimpinan pondok pesantren Al-Iman putra, beliau bertanya: “Le, ilmu apa yang paling berat yang harus dikuasai oleh kiai…..?” kemudian penulis menjawab: “ilmu ikhlas ustadz, atau ilmu membaca kitab dan menguasainya dengan baik..” Beliau pun dengan gaya khas orang madura lalu menyela: “salah, ilmu yang paling berat bagi kiai itu ilmu silo (duduk bersila)..”. demikian kata kiai Zawawi.
Tentu saja penulis agak bingung dengan jawaban beliau, lalu terdiam sejenak. Tidak lama setelah itu beliau menjelaskan bahwa kiai itu harus bisa menyelesaikan semua hal, dan siap dengan semua permasalahan apapun itu dan kapanpun. Lalu apa kaitannya dengan silo?. Duduk bersila adalah simbol di mana kiai harus jumeneng anteng lan waspodo (standby, istiqamah dan siaga) dalam mengawal santri dan masyarakat dengan segala macam keluh kesahnya selama 24 jam dengan ikhlas tanpa imbalan apa-apa. Tidak jarang Kiai harus poso karep (puasa dari hasrat) untuk tidak terjun ke politik praktis atau kegiatan lainnya yang rentan untuk mengalihkan kiai dari dunia pendidikan dan pengabdian.
Silo merupakan lambang totalitas, keseriusan, fokus, dan loyalitas tanpa batas dalam mengarungi bahtera perjuangan. Ilmu silo adalah ilmu yang berat, siapa yang kuat duduk bersila selama kurang lebih 24 jam untuk menyelesaikan masalah orang lain yang banyak menguras pikiran dan tenaga tanpa mengharap imbalan apapun? Jika bukan karena motivasi yang tinggi untuk mengabdi, satu jam saja pasti orang akan menyerah karena kesemutan. Sungguh, sikap dan watak seperti itu tidak mudah dimiliki oleh kebanyakan orang pada umumnya, termasuk orang yang memiliki titel paling tinggi sekalipun.
Lalu bagaimana posisi duduk bersila menurut sunnah Rasulullah SAW? Rasulullah SAW biasa duduk bersila dari setelah selesai sholat subuh, hingga terbit matahari. Selain itu ada beberapa sikap duduk Rasulullah, pertama duduk qurfasha, duduk ini dilakukan dengan cara melipat lutut dan menegakkannya sehingga kedua telapak kaki menjejak lantai, kemudian kedua tangan merangkul kedua lutut tersebut. Namun, cara duduk seperti ini dilarang Rasulullah SAW dilakukan ketika mendengarkan khutbah Jum’at. Kedua duduk bertinggung, duduk ini dilakukan seperti berjongkok dengan seluruh telapak kaki menjejak lantai, bagian (maaf) pantat tidak menyentuh lantai. Rasulullah SAW pernah duduk bertinggung ketika sedang makan kurma. Ketiga duduk iftirasyi (duduk ini sama dengan duduk antara dua sujud maupun sujud ketika tahiyatul awal dalam sholat) dan yang terakhir adalah duduk tawarruk, duduk ini sama dengan duduk ketika tahiyatul akhir dalam sholat. Maka bagi yang ingin melihat dari perspektif sunnah Rasulullah SAW duduk bersila ini juga termasuk posisi duduk yang dianjurkan.
Dunia kiai adalah dunia lakon spiritual tingkat tinggi namun tetap membumi. Kiai-kiai Al-Iman yang penulis kenal rumahnya bagaikan Rumah Sakit UGD yang selalu standby 24 jam. Mulai dari santri, wali santri, budayawan, politikus, dukun, orang kesurupan, orang gila, tentara, dan polisi akan bersimpuh di hadapan kiai dengan segala permasalahan yang mereka miliki. Penulis yang saat itu antara tahun 2007-2010 menjadi Sekretaris Pimpinan menjadi saksi bagaimana rumah kiai Al-Iman selalu ramai oleh elemen masyarakat mulai dari habis subuh sampai subuh lagi. Lalu bagaimana dengan keluarga kiai? Kiai menjawab: “urusan anak istriku sudah diurus oleh Allah SWT”.
Lalu apa yang dimaksud dengan mustiko? Mustiko atau mustika adalah lambang kehormatan dan sesuatu yang berharga atau yang mulia yang harus dimiliki oleh orang besar. Jika kiai sudah mulai duduk bersila lalu membakar ujung rokoknya itu pertanda alam hikmah telah dibuka. Percaya atau tidak, yang jelas kiai punya cara tersendiri dalam menyelesaikan semua permasalahan dan itu telah terbukti.
Mahkota kebesaran kiai bukan hanya karena nasab atau nasib saja, akan tetapi karena kiai selalu hadir untuk menyelesaikan setiap masalah, selalu peka terhadap setiap musykilah (kesulitan) dan selalu tepat dalam bertingkah sebagai uswah hasanah. Mustika kiai bukan terletak pada harta, surban maupun jubahnya, akan tetapi mustika kiai terletak pada keihlasan, perjuangan, dan pengabdiannya di masyarakat. Keihlasan, militansi pengabdian dan kesempurnaan akhlak bukanlah hal yang bisa dimiliki hanya dengan harta, keturunan, maupun titel. Entah apa saja yang bisa meraih semua hal tersebut, yang jelas menurut para kiai: “sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu”.
Faktanya, tidak banyak santri saat ini yang bercita-cita untuk menjadi kiai. Modernitas telah membawa persepsi yang berbeda kepada dunia pendidikan saat ini. Kesuksesan diukur dari profesi, dan jabatan. Sedangkan kiai terkesan klasik, abstrak dan kurang elit. Menariknya, banyak yang tidak mau menjadi kiai namun selalu mencari kiai.
Hari ini, jika ingin meneladani kiai, kita harus mencari dan mendalami ilmu agama sebanyak-banyaknya, menata akhlak untuk lebih karimah, lalu siap mewakafkan diri untuk umat, sebagaimana kata pepatah arab: sayyidul qaumi khodimuhum (pemimpin sebuah kaum itu adalah pelayannya).
Al-Ubuwwah wa al-Bunuwwah
Santri itu bagaikan gerombolan lebah yang selalu padat aktifitas dengan organisasi yang solid hingga menghasilkan madu yang sangat manis, atau organisasi semut dengan kekuatan gotong royong dan tanpa pamrih, hingga kaki-kaki kerempeng itu mampu merubuhkan musuh atau mangsanya yang jauh lebih besar darinya. Seluruh dinamika dalam pesantren berada di bawah satu komando kiai. Militansi pesantren tergantung kepada daya setrum kiainya.
Menariknya, dalam dinamika kepesantrenan, kiai tidak hanya memposisikan diri sebagai manager atau bos besar, kemudian santri dan dewan gurunya sebagai bawahan. Hubungan antara kiai, santri dan dewan guru bukan hanya hubungan keorganisasian formal, akan tetapi hubungan kekeluargaan, atau dalam bahasa pesantren adalah al-ubuwwah wa al-bunuwwah.
Al-ubuwwah berasal dari kata abun (ayah) sedangkan al-bunuwwah berasal dari kata ibnun (anak). Sifat keorganisasian pesantren yang padat, keras, dan penuh disiplin tidak bermakna dan tidak dapat berjalan dengan maksimal, tanpa adanya ruh al-ubuwwah dan al-bunuwwah, yaitu sebuah ikatan batin kekeluargaan antara para pengasuh sebagai “ayah” dan para santri sebagai “anak”. Inilah poros penting yang menghidupkan kesadaran para pengasuh, guru, dan santri, hingga membuat sisi luar organisasi yang keras mampu mengalirkan setruman keikhlasan, kasih sayang dan penuh simpati. Maka rutinitas seluruh masyarakat atau elemen di pesantren yang sangat padat akan terasa sangat manis dan nikmat dengan ruh kekeluargaan tersebut.
Al-ubuwwah dan al-bunuwwah di pesantren teraplikasikan hampir 90% dalam kegiatan kepengasuhan santri di luar sekolah. Di mana para pengasuh dan dewan guru tidak menjadi sosok di belakang meja, akan tetapi serentak bersatu dan berkumpul mendampingi santri selama 24 jam, merasakan segala aktifitas dan keluh kesah para santri. Hingga mereka menjadi kesatuan keluarga yang sama rasa dan jiwa dalam mengarungi bahtera fi sabilillah. Hukuman kyai kepada para guru atau hukuman para pengurus kepada santri, peringatan senior kepada junior tidak terasa sebagai sebuah mala petaka ketika ruh ini telah meresap dalam sanubari masing-masing elemen di pesantren. Sistem among dan ayom di pesantren inilah yang berimplikasi besar bagi pembentukan karakter santri yang tidak didapati di lembaga pendidikan lainnya karena memang bermodel asrama. Dengan hal itu pula Panca Jiwa Pondok, mulai dari keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwwah islamiyah dan berjiwa bebas akan dapat terelisasikan dan terjaga sepanjang masa.
“ Keridhoan Alloh adalah Tujuan Akhir Cita-cita Kita”
[1]Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Iman Putra angkatan tahun 2005, saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Darussalam Gontor (UNIDA) periode 2015-2020